The Glance of Me

Quote of the Day
Shout Box
Name :
Web URL :
Message :
:) :( :D :p :(( :)) :x
Mittwoch, Februar 14, 2007
Sekolah
Oleh: Samuel Mulia Penulis Mode dan Gaya Hidup
Dari sejak kecil saya sangat tak suka sekolah. Buat saya, sekolah seperti neraka, meski sesungguhnya saya tak tahu neraka itu seperti apa.
Ketika duduk di kelas satu sekolah dasar, saya bertanya kepada Ibu, mengapa saya perlu sekolah. Mengapa saya perlu pergi ke sekolah tepatnya, lha wong kalau saya bisa belajar saja di rumah, terus kenapa?
Ibu saya diam saja. Mungkin geregetan melihat anaknya baru kelas satu sudah bawel setengah mati. Jawaban itu malah datang dari teman saya setelah SMA. "Nanti lo enggak dapat kerja karena enggak punya ijazah. Kan enggak mungkinlah yao nyak lo buat ijazah seenaknya sendiri."
Ijazah. Itu penting sekali rupanya, meski sekarang ini walau sudah di genggaman tangan pun saya melihat masih saja banyak yang kelabakan mencari pekerjaan. Hari Selasa lalu, saya hadir dalam rapat dengan seorang kurator bersama seorang teman kami. Hari masih pukul sepuluh pagi hari, harum kopi hitam di kafe membangunkan mata saya yang masih sembap.
Seusai rapat, sang kurator berbicara soal mahasiswanya yang tak bisa maju-maju di perusahaannya karena hanya berijazah D-3 dan bukan S-1. Padahal, teman sejawatnya yang berijazah S-1 tak sepandai murid D-3-nya dalam urusan fotografi. Toh kenyataannya perusahaan menilai manusia lebih tinggi karena ijazah S-1-nya itu.
Seperti WC
Saya itu ingin sekali bisa hanya dengan ijazah lulusan sekolah dasar bisa jadi presiden. Saya tak membayangkan dengan ijazah sekolah dasar saya bisa memenangi ujian penerimaan karyawan dan menjadi presiden di sebuah perusahaan multinasional, misalnya. Tetapi, Pak Harto bisa dan memimpin negara dengan rakyatnya yang memegang ijazah lebih tinggi darinya... dan menganggur.
Selain saya ingin seperti pak Harto, saya juga merasa sudah membuang waktu selama masa sekolah dengan hal-hal yang bukan saya. Saya bukan antipendidikan, saya malah mau bercerita bagaimana tersiksanya saya yang bodoh matematika, fisika, apalagi kimia serta susahnya menghafal Pancasila, serta tak bisa membuat prakarya dengan gergaji, tetapi semuanya harus saya laksanakan sekian tahun lamanya.
Ayah saya pernah marah-marah karena saya tak mengerti ilmu pengetahuan alam, sampai saya disetrap tak boleh ke mana-mana. Seandainya dulu saya bisa berbicara kepada ayah saya, saya akan mengatakan mengapa ia harus marah anaknya tak mampu ilmu alam bila anaknya malah mampu jadi penata rambut dan lebih bahagia di dapur bersama pembantu belajar memasak?
Di sekolah menengah dahulu, murid laki-laki mendapat pekerjaan yang dianggap pekerjaan laki-laki. Sampai sekarang saya tak mengerti bahwa ternyata pekerjaan punya jenis kelamin, seperti WC. Siapa yang membuat aturan bahwa gergaji adalah mainan laki-laki atau bertinju adalah kesenangan laki-laki? Lha… putrinya Pak Muhammad Ali malah memilih jadi petinju.
Murid perempuan mendapat kegiatan masak-memasak atau jahit-menjahit. Padahal apa ya semua perempuan mau jadi tukang masak dan tukang jahit? Lha wong, sekali lagi, putrinya Pak Ali malah memilih menjadi petinju.
Seperti Sebastian Gunawan
Sementara menurut penglihatan saya yang plus satu setengah ini, tukang masuk di hotel berbintang atau rumah makan tanpa bintang umumnya didominasi laki-laki. Dan pekerjaan itu tak membuat mereka jadi banci atau keperempuan-perempuanan. Jadi, mengapa saya tak boleh ikut masak saat sekolah menengah dahulu, lha wong saya lebih suka masak daripada main gergaji?
Coba saja saya boleh, saya mungkin tak perlu masuk SMA dan langsung kursus yang lebih spesifik dalam waktu singkat dan saya bisa jadi tukang masak.
Kalau tak diterima di mana-mana, ya bikin warung kecil sendiri. Mungkin saya akan lebih banyak punya uang pada umur yang sama daripada teman saya yang berkutat dengan H2SO4 di laboratorium.
Kalau saja pada masa sekolah itu saya bisa bergabung dengan kaum perempuan untuk belajar jahit-menjahit, mungkin saya tak perlu harus menuntaskan ijazah SMA, tetapi belajar jadi tukang jahit dan belajar desain. Mungkin sekarang saya bisa berbisnis pakaian jadi seperti Sebastian Gunawan tanpa harus membuang waktu bertahun lamanya. Mungkin sejak lama saya sudah bisa punya toko membuat pakaian di Jakarta Pusat, Timur, Utara, Barat, dan Selatan.
Sementara dunia jahit-menjahit juga banyak diminati laki-laki, mengapa saya harus belajar sampai terkantuk-kantuk soal P4 kalau saya lebih canggih menarikan jari-jemari saya di atas kain dan menggoyangkan kaki saya di meja jahit? Lha... wong saya dijejal P4, dan saya mencoba untuk menghayatinya dan mencintai negeri ini dengan sebenar-benarnya, malah sekarang banyak orang yang tak peduli dengan intisari P4.
Jadi, saya harus menjalani pendidikan formal supaya dapat ijazah, saya harus menjalani hal yang tak saya sukai bertahun lamanya. Masalahnya, situasi itu membuat saya menghabiskan waktu dengan sia-sia untuk sesuatu yang tak ingin saya raih. Mungkin masalahnya juga masa itu—sebelum datangnya kesempatan jadi bintang sinetron atau selebriti—cita-cita saya cuma sampai jadi dokter, insinyur, atau ekonom. Sebuah cita-cita yang dianggap mulia dan pantas karena ada orangtua teman saya yang menyuruh anak lelakinya jadi dokter supaya sampai masa tua tak akan miskin.
Coba kalau semua orang jadi dokter, siapa yang membangun ruang praktik sang dokter atau yang mencukur rambut sang dokter? Apakah mereka akan jatuh miskin dibandingkan dengan dokternya? Situasi masa itu membuat saya tak bisa berpikir, dan tak punya keberanian mendatangi orangtua saya untuk menjelaskan kepada mereka saya ingin jadi penata rambut.
Saya kok yakin, orangtua saya bakal kena serangan jantung. Anak lelaki kok kerja seperti perempuan? Teman wanita saya bercerita, sewaktu ia lulus sekolah menengah atas di Bandung ingin sekali menjadi peragawati. Kebetulan memang posturnya pas untuk itu.
"Pengen kayak Okky Asokawati, bo," katanya. Alhasil, cita-citanya kandas di tengah jalan karena menurut ayahnya itu profesi yang tidak menjanjikan dan tidak pantas. Saya kemudian bertanya dalam hati, adakah profesi yang pantas?
Raihlah Cita-citamu Setinggi Langit
1. Kalau membaca peribahasa ini sebaiknya dengan kepala dingin. Maksud saya, dengan berkaca melihat kemampuan Anda sendiri, karena untuk mencapai "setinggi langit" selain belum tentu enak dan menyenangkan, Anda juga harus punya senjata bernama IQ. Kalau IQ Anda sama jongkoknya dengan saya, nanti Anda malah frustrasi dan cita-cita tak tercapai, langit tak tersentuh malah jadi pungguk merindukan langit.
2. Setelah Anda berkaca dan mampu melihat sejauh mana kebodohan dan kepandaian Anda, mulailah mendata pekerjaan-pekerjaan apa saja yang bisa Anda raih dengan senjata kebodohan dan kepandaian itu. Bila Anda tak suka matematika dan pandai cuap-cuap, mungkin Anda bisa jadi tukang gosip atau tukang fitnah atau manipulator.
Bila Anda pandai berhitung dan bodoh dalam kejujuran, Anda bisa bekerja pada pekerjaan yang berhubungan dengan uang, dan mungkin bisa sambil korupsi. Kalau Anda bodoh menghafal, tetapi pandai melihat peluang, Anda mungkin bisa jadi penjilat. "Wah… aku mau tuh jadi penjilat," celetuk teman saya.
3. Jangan pernah menganggap profesi atau status pendidikan Anda tidak lebih baik daripada profesi orang lain. Membandingkan D-3 dan S-1, misalnya. Sejauh Anda menjalani profesi atau pekerjaan Anda dengan benar dan dengan hati bahagia, Anda tak perlu merasa menjadi kurang baik atau kurang pantas.
4. Menjadi dokter atau menjalani pendidikan formal tak ada salahnya, tetapi cobalah memberi peluang kepada mata Anda untuk melihat kesempatan di luar pendidikan formal atau profesi yang dianggap pantas itu. Menjual bakso, menerima pesanan menggambar kartu undangan (bukan membuat percetakan), misalnya. Bila Anda memang dikarunia kemampuan memasak tanpa harus belajar memasak, maka cobalah mulai memasak buat teman-teman Anda. Dari mulut merekalah umumnya promosi berlangsung. Siapa tahu suatu hari Anda mampu memiliki usaha katering.
Bila Anda banyak memiliki koleksi buku, mungkin Anda bisa membuka perpustakaan kecil-kecilan. Selain Anda membuat orang jadi pandai, Anda juga memperoleh laba dari peminjaman buku. Bahwa ada yang menjadi germo atau gigolo, itu kenyataan yang ada, tetapi bukan yang saya maksud dalam hal bekerja di luar pendidikan formal.
5. Bila Anda memimpin perusahaan, cobalah jangan mudah menilai dengan hanya melihat CV yang dikirimkan, nilai IP yang tertera di ijazah, atau nama universitasnya. Itu perlu tetapi tak menjamin apa-apa. Cobalah berpikir juga pada result oriented.
Teman saya seorang pengusaha percetakan, telah mempekerjakan delapan orang cacat dan kedelapan manusia cacat ini tak membuat usaha percetakan itu menjadi tersendat-sendat. Ia sebagai pemimpin perusahaan memberi penilaian tak berdasarkan keadaan fisik, ada atau tidak adanya ijazah, tetapi berdasarkan hasil pekerjaan dan tanggung jawab mereka.
posted by Hariadi @ 9:29 PM  
0 Comments:
Kommentar veröffentlichen
<< Home
 
About Me

Name: Hariadi
Home: Indonesia
About Me:
See my complete profile
About the Blog
Hi. I write what I like here at definite moment. No specific topics so why limit myself?. Normally, I'd write either in English, German or my lovely Bahasa Indonesia. Feel free post your comments in those languages
Previous Post
Archives
Links
Template by


BLOGGER